Rabu, 18 Agustus 2010

Kriteria Diterimanya Suatu Amal

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam . Dan semoga kita tidak termasuk golongan orang yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:
"Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya". (Al-Kahfi: 103-104).
Maka dari itu perlu kita pahami dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah, yaitu:
1. Ikhlas, ini merupakan syarat bathin.
2. Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (ittiba'urrasul shallallahu 'alaihi wasallam ), ini merupakan syarat zhahir.
Kedua syarat ini tidak boleh diabaikan salah satunya, karena barangsiapa melaksanakan suatu amalan dengan ikhlas, tapi menyelisihi atau menyalahi ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka amalan itu tertolak atau sia-sia. Begitu pula sebaliknya siapa saja yang beramal sesuai ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tapi niatnya tidak ikhlas karena Allah maka sia-sia pula amalan itu.
Untuk lebih jelasnya marilah kita pahami uraian berikut ini:
1) Ikhlas
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan kita semua tidaklah sia-sia, namun mempunyai tujuan yang amat agung yaitu beribadah kepada Allah. FirmanNya:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu".(Adz-Dzaariyaat: 56).
Dalam penciptaan alam semesta beserta isinya ini Allah tidak dibantu dan tidak butuh bantuan dari siapapun, sehingga sudah pasti ibadah itu harus dan wajib diperuntukkan bagi Allah saja dan tidak boleh bagi yang lain, baik itu nabi-nabi yang Allah utus ataupun malaikat-malaikat yang dekat dengan Allah. Dan lebih tidak boleh lagi kalau ibadah itu ditujukan kepada wali-wali, kyai-kyai, batu, keris, dll. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus". (Al-Bayyinah: 5).
Maka sudah sewajarnya ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang berperangnya seorang laki-laki dengan niat untuk memperoleh pahala dari Allah dan juga agar dikenang oleh manusia, beliau menjawab: dia tidak memperoleh apa-apa. Kemudian Rasulullah ` ditanya sampai tiga kali dan tetap jawaban Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seperti semula, lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima suatu amal kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharap wajah-Nya". (Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihnya nomor 56).
Maka sangat tepat perkataan ulama' bahwa ikhlas itu penunggalan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla bersih dari segala jenis kotoran syirik.
2) Ittiba'ur Rasul
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah penutup para nabi dan rasul, dan beliau itu merupakan semulia-mulia manusia di muka bumi, dan hal ini telah disaksikan oleh Allah dalam firmanNya :
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur". (Al-Qalam: 4).
Maka wajar jika Allah menjadikan keta'atan kepada Rasul itu bagian dari kecintaan kepadaNya, firmanNya :
"Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihimu". (Ali Imran: 31).
Kemudian Allah menegaskan perintah ta'at ini dengan firmanNya:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". (Al Hasyr: 7).
Demikian banyak ayat yang memerintahkan kita untuk ta'at kepada Rasulullah dan senantiasa berpegang teguh terhadap ajaran beliau, lebih-lebih beliau telah bersabda:
"Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak". (HR. Muslim).
Maka dari itu tidak ada alasan bagi kita untuk menyelisihi atau menyimpang dari ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , baik dalam bentuk pengurangan seperti mengingkari kewajiban berjilbab/hijab bagi wanita, maupun dalam bentuk penambahan seperti perayaan Nuzulul Qur'an, ulang tahun Nabi, puasa pati geni, dll, yang semua itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam .
Berkata Sufyan Ats-Tsauri : "Tidak akan diterima suatu perkataan kecuali dengan perbuatan, dan tidak akan tegak perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali sesuai dengan petunjuk Rasulullah".
Di akhir pembahasan ini, marilah kita mohon kepada Allah agar dimasukkan dalam golongan orang yang ikhlas dan senantiasa mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa menambah atau mengu-ranginya, dan agar kita ditetapkan dalam golongan ini sampai akhir hayat kita. Amin.
Baca selengkapnya.......

MEMAHAMI IMSAKIYAH ( Gema Ramadlan )

Assalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang jadi titik masalah adalah penggunaan istilah ”imsak”, yang terlanjur dianggap menjadi bagian dari tata aturan puasa. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan istilah imsak, karena imsak itu artinya puasa. Kalau kita buka kamus, imsak itu maknanya puasa.
Cuma barangkali yang jadi masalah adalah ketika istilah itu digunakan untuk memulai 10 menit tidak makan minum sebelum waktu shubuh tiba. Padahal sesungguhnya start awal puasa itu bukan sejak 10 menit menjelang masuknya waktu shubuh, melainkan sejak masuknya waktu shubuh itu sendiri.
Penambahan 10 menit sendiri tidak pernah dikatakan sebagai awal start puasa, hanya saja beberapa kalangan menganjurkan kita untuk sudah tidak lagi makan minum kira-kira 10-an menit sebelum masuknya waktu shubuh.
Kalau hal ini dipahami dengan benar, tentu tidak ada pelanggaran atau bid”ah. Toh, itu sifatnya hanya anjuran belaka, bukan pengubahan ketentuan dan tata aturan puasa. Tidak ada seorang pun yang membenarkan bahwa puasa itu dimulai 10 menit menjelang shubuh.
Sayangnya, sebagian kalangan terlanjur menganggap sikap untuk sudah tidak makan minum beberapa menit sebelum shubuh itu sebagai perbuatan bid”ah. Dalam pandangan mereka, tidak makan minum 10 menit menjelang shubuh dianggap penambahan dalam urusan agama yang berakibat fatal. Sebab mereka memasukkannya sebagai kategori bid”ah.
Lihatlah misalnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang ketika ditanyakan masalah istilah imsak ini, dengan serta merta menjawab : “Hal ini termasuk bid”ah, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia.
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang merah dari benang putih yaitu fajar” (QS. Al-Baqarah : 187)
Nabi Shallallahu ”alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan sampai terbit fajar”
Bahkan Syeikh yang sudah wafat itu menambahkan,”Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah SWT sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah.
Perbandingan
Sebuah perbuatan itu memang bisa dikategorikan sebagai bid”ah manakala tidak ada contoh dari Nabi SAW tapi kemudian dijadikan sebuah syariat baru secara formal. Misalnya, ketika kita mengubah ketentuan puasa, yang tadinya dimulai sejak shubuh kemudian diubah menjadi 10 menit sebelum shubuh.
Tidak ada seorang pun yang menolak bahwa pengubahan ini jelas-jelas bid”ah yang haram dan merupakan sebuah kemungkaran.
Hanya saja, ketika seseorang tetap meyakini bahwa puasa memang dimulai sejak shubuh, cuma 10 menitan sebelumnya memang sudah siap-siap tidak makan minum, tanpa meyakini bahwa cara itu merupakan aturan baku yang mengubah aturan aslinya, apakah tindakannya itu menjadi sebuah kemungkaran?
Menurut hemat saya, itu bukan sebuah kesalahan. Toh pada kenyataannya, kita pun selama ini melakukannya. Kalau pun kita makan sahur, biasanya makan sahur itu tidak terpotong langsung dengan adzan shubuh. Secara manusiawi, kita pasti sudah mengatur sedemikian rupa agar makan sahur kita sudah selesai beberapa menit sebelum masuk waktu shubuh.
Ini sekedar untuk berjaga-jaga saja, agar jangan sampai ketika nasi masih di dalam mulut, tiba-tiba shubuh sudah masuk. Tentu puasa kita bisa rusak, kalau nasi di dalam mulut itu tetap ditelan. Sebaiknya kita berjaga-jaga atau bersiap-siap.
Sikap berhati-hati dan bersiap untuk sudah tidak makan atau minum beberapa menit menjelang shubuh ini pasti masuk akal dan bisa diterima syariah. Asalkan tanpa mengubah aturan baku dimana puasa memang tepatnya dimulai sejak masuknya waktu shubuh.
Jadwal Imsakiyah
Kita sudah tahu bahwa yang salah itu adalah menganggap waktu puasa diubah dari sejak masuknya waktu shubuh menjadi beberapa menit sebelum masuk waktu shubuh.
Maka kalau kita membuat jadwal puasa, dimana di dalamnya ada tabel-tabel waktu shalat, dan juga dicantumkan jam ”imsak”, tanpa mengubah pemahaman bahwa imsak adalah mulainya puasa, tentu tidak ada salahnya. Juga tanpa memahami bahwa imsak adalah nama sebuah waktu shalat atau mulai start-nya puasa.
Kalau hal itu terpenuhi, tidak ada yang salah dari ”jadwal imsakiyah” itu, kecuali cara seseorang memahaminya yang ada kemungkinan salah.
Memang untuk lebih amannya, sebaiknya di dalam jadwal itu tidak usah dicantumkan tabel ”imsak”, biar tidak melahirkan kesalahan pemahaman. Tapi untuk menuduh bahwa semua orang itu bodoh dan tolol sehingga tidak bisa membedakan mana awal star puasa dan mana imsak, rasanya terlalu berlebihan.
Umat Islam itu tidak layak dianggap selalu bodoh, dan kalau pun memang bodoh, yang perlu kita lakukan bukan menuding mereka sebagai pelaku bid”ah atau pendosa.
Yang perlu dilakukan adalah mengajarkan mereka dengan cara yang baik, menyampaikan pesan dengan seksama, mengajak bukan mengejek, mencerahkan bukan melecehkan, dan disitulah bedanya seorang da”i dengan seorang qadhi.
Baca selengkapnya.......