Kamis, 01 April 2010

MEMANAGE RASA IRI PADA DIRI KITA



Apabila kita melihat sesuatu yang dicapai atau dimiliki orang lain terkadang muncul pada diri kita perasaaniri . Iri adalah emosi negatif, berupa perasaan tidak senang atau sakit hati terhadap apa yang dimiliki atau apa yang dicapai (keberhasilan) orang lain, yang kita juga ingin miliki atau capai.

Konsekuensi negatif sering menyertai perasaan iri seseorang. Ternyata perasaan iri tidak selalu memiliki konsekuensi negatif, bahkan justru dapat menjadi motivasi bagi seseorang untuk merefleksikan diri dan mengembangkan diri. Kapan dan bagaimana agar iri justru memiliki pengaruh yang positif bagi diri seseorang?

Perasaan iri hampir sama dengan sirik (schadenfreude) yang berarti perasaan gembira atau puas melihat orang lain gagal atau susah. Orang yang iri biasanya sekaligus sirik. Orang yang benci melihat orang lain sukses tentu sekaligus senang bila melihat orang lain gagal.


Semakin seseorang mudah iri atau semakin kuat intensitas perasaan iri, maka ia akan semakin gelisah akibat rasa tidak suka dan sakit hati. Hal yang lebih dari itu juga dapat mengganggu hubungan interpersonal. Seperti yang sering digambarkan dalam sinetron-sinetron, iri dapat memicu tindakan-tindakan agresi, kekerasan, bahkan kriminal.

Pengelolaan diri yang diperlukan adalah dengan belajar menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya. Diperlukan langkah mengenali kekuatan dan kelemahan diri yang dimiliki berdasarkan aspek-aspek fisik (postur tubuh, wajah, kesehatan, dan lain sebagainya), aspek psikologis (kemampuan, sifat, motif, dan lain sebagainya), aspek sosial (relasi sosial, keluarga, dan lain sebagainya), dan aspek moral-spiritual (perilaku etis, relasi dengan Tuhan, dan lain sebagainya).

Berdasarkan pengenalan diri tersebut, seseorang dapat mulai mengembangkan diri secara sehat dengan terus mengembangkan kekuatan yang ada, tanpa terlalu fokus terhadap orang lain. Kelemahan perlu diperbaiki, khususnya dalam aspek sosial, dengan cara lebih berempati terhadap orang lain.

Empati (menempatkan diri dalam posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain) merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan rasa iri atau kesenangan membuat orang lain iri.

Dengan mengembangkan diri seperti itu, ia dapat semakin matang dengan bebas dari pengalaman iri yang sesungguhnya sangat menyesakkan.

Untuk individu yang pernah merasa iri, tetapi tidak merasa pernah diirikan orang lain, individu-individu ini diduga adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan rendah diri (inferior), merasa tidak memiliki hal-hal yang dapat dibanggakan sehingga tidak ada alasan orang lain iri kepadanya.

Kemungkinan orang ini kurang memiliki pengalaman berinteraksi secara mendalam dengan orang lain, jaringan sosialnya sempit (tidak memiliki banyak relasi sosial), atau memiliki kesempatan yang kecil untuk mengekspresikan diri atau mengaktualisasi diri. Konsep dirinya kurang berkembang dan harga dirinya rendah. Bila harga diri rendah (inferior), maka orang mudah mengalami iri.

Responsnya terhadap pengalaman iri kemungkinan besar adalah destruktif. Namun, tidak seperti pada tipe individu yang memiliki pengalaman iri dan diirikan secara kuat, individu-individu yang mengalami rendah diri ini kemungkinan besar akan merespons pengalaman iri dengan sikap memendam dan kecewa.

Hal yang penting dilakukan oleh mereka yang mengalami rasa inferior ini adalah mengembangkan relasi sosial yang hangat dengan orang-orang lain. Agar memiliki keberanian, yang lebih dulu diperlukan adalah mengenali kekuatan dirinya dan lebih berfokus terhadap kekuatan-kekuatan tersebut, serta tidak berfokus pada kekurangan yang dimiliki.

Yakinkanlah pada diri anda bahwa setiap orang memiliki kekurangan. Hal ini perlu diyakini agar seseorang dapat menerima kekurangan diri sebagai keadaan yang wajar. Pengenalan terhadap kekurangan diri hanya diperlukan sebagai dasar untuk mengembangkan diri. Bila rasa rendah diri telah diatasi, maka pengalaman iri akan semakin menghilang.
Tanpa rasa iri kita damai dengan lingkungan kita. Semoga