Minggu, 18 April 2010

MENELAAH REKAMAN SEISMICITY PULAU SUMATERA

Kita tentu masih ingat gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh di akhir tahun 2004. Gempa bumi yang melanda Aceh dan Pulau Sumatera bagian utara pada tanggal 26 Desember 2004 adalah gempa bumi yang termasuk dalam kategori gempa bumi terdahsyat yang pernah terjadi di bumi setelah gempa bumi dahsyat yang melanda Alaska pada tahun 1964. Gempa bumi yang melanda Alaska tersebut mempunyai kekuatan sebesar 9.2. Gempa bumi yang melanda Sumatera pada tahun 2004 ini mampu mengubah lantai samudera dan menghasilkan gelombang tsunami yang mampu menghancurkan apa saja yang dilaluinya mulai dari Pulau Sumatera bagian utara, Thailand, Sri lanka, India, bahkan sampai ke pesisir timur benua Afrika.


Gempa bumi dapat terjadi sepanjang batas pertemuan antara lempeng Eurasia dan lempeng Australia. Panjang batas pertemuan kedua lempeng tersebut sekitar 5500 kilometer atau sekitar 3400 mil mulai dari Myanmar melewati Pulau Sumatera, Jawa, dan menuju Australia. Di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera bagian Selatan, lempeng Australia bergerak ke arah utara/timur laut sebesar 60-65 mm per tahun relative terhadap AsiaTenggara. Sedangkan di daerah sekitar utara Pulau Sumatera, lempeng Australia bergerak 50 mm per tahun. Lempeng Australia dan lempeng Eurasia bertemu di kedalaman sekitar 5000 meter atau 3 mil di bawah permukaan air laut pada Palung Sumatera yang terletak di Samudera India. Palung tersebut tersebar relatif pararel terhadap pantai barat Pulau Sumatera sekitar 200 kilometer atau 125 mil dari garis pantai. Pada palung tersebut, lempeng Australia menyusup di bawah lempeng Eurasia.


Pertemuan kedua lempeng tersebut sering juga disebut “megathrust” dimana lempeng Eurasia seolah-olah terangkat oleh lempengAustralia yang menyusup ke dalam bumi. Megathrust yang ada di selatan Pulau Jawa relatif tegak lurus terhadap palung sedangkan di sebelah baratdaya Pulau Sumatera lebih membentuk sudut atau oblique. Akibat geometri dari pertemuan kedua lempeng tersebut di sebelah baratdaya Pulau Sumatera yang membentuk sudut maka pertemuan lempeng tersebut mempunyai komponen dip-slip (dextral slip atau menggeser relative ke kanan) yang tercerminkan dari adanya Patahan Sumatera yang ada di blok “hanging wall” dari daerah penunjaman Sumatera. Patahan tersebut kurang lebih berasosiasi dengan busur vulkanik Sumatra yang mampu mengakomodasikan komponen geser dari bentuk penunjaman yang oblique atau bersudut. Pertemuan kedua lempeng tersebut juga tidaklah mulus akan tetapi lebih membentuk hubungan “stick and slip”. Ini artinya megathrust akan tetap terkunci atau tidak ada pergeseran yang cukup berarti antara kedua blok selama beratus-ratus tahun dan jika megathrust tidak mampu lagi terkunci maka akan terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat.


Sejarah membuktikan bahwa proses penunjaman dari megathrust tidak akan menghancurkan seluruh daerah patahan (sepanjang batas lempeng atau sekitar 5500 kilometer ) dalam satu waktu saja. USGS melaporkan bahwa patahan mulai terjadi di bagian utara Pulau Simeulue. Dari pengamatan seismogram yang dilakukan oleh Chen Ji (Caltech seismologist) ditemukan bahwa patahan utama yang ada di Pulau Simeulue menjalar kearah utara sepanjang 400 kilometer sepanjang jalur megathrust dengan kecepatan 2 kilometer per detik. Akan tetapi dengan berlanjutnya gempa utama maka daerah patahan bertambah sebesar 1000 kilometer ke arah utara di daerah Kepulauan Andaman.


Lintasan dari penunjaman megathrust yang berkembang dari Myanmar kearah selatan melewati Laut Andaman dan kemudian kearah tenggara menuju pesisir barat pantai Sumatra telah menghasilkan gempa yang sangat dahsyat dalam dua abad terakhir. Pada tahun 1883, patahan dari segmen yang sangat panjang di pesisir Sumatra Tengah menghasilkan gempa bumi dengan skala 8.7 dengan diikuti tsunami. Pada tahun 1861, lintasan di bagian utara ekuator menghasilkan gempa bumi dengan skala 8.5 diikuti tsunami. Segmen di utara Kepulauan Nikobar juga mengalami patahan di tahun 1881 dan menghasilkan gempa bumi dengan skala 7.9. Bagian di bawah Kepulauan Enggano juga mengalami patahan pada tahun 2000 dan menghasilkan gempa bumi dengan skala 7.8.

Gempa bumi yang terjadi di tahun 2004 dihasilkan dari patahan yang terjadi di bagian paling utara dari bagian megathrust Pulau Sumatera. Penelitian-penelitian seismik terdahulu menunjukkan bahwa patahan yang terjadi seperti pada tahun 1883 hampir terjadi setiap dua abad. Ini menyebabkan bagian-bagian yang lain dari lintasan megathrust yang ada menjadi daerah yang sangat rawan bencana gempa bumi yang kemungkinan disertai tsunami.Selama terjadinya patahan dari penunjaman megathrust, bagian dari Asia Tenggara yang terdapat di atas megathrust berpindah kearah barat (kearah palung) sebesar beberapa meter dan dapat naik sebesar 1-3 meter. Kenaikan bagian ini membuat seakan-akan samudera naik sebesar 1-3 meter. Pada saat air tersebut bergerak turun kembali maka ini akan memicu terjadinya rentetan gelombang samudera yang mampu menjalar sepanjang Teluk Bengal. Dan pada saat gelombang tersebut mendekati daratan, gelombang tersebut berkurang kecepatannya tetapi ketinggian gelombang tersebut bertambah sehingga mampu menghancurkan semua yang dilewatinya. Gelombang inilah yang disebut gelombang tsunami seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 kemarin. sumatrafaultsystem.gif

Meskipun gelombang tsunami dapat reda dalam waktu yang singkat akan tetapi gelombang ini mampu menggenangi beberapa tempat yang relatif rendah di sekitar pesisir pantai dan membentuk rawa-rawa. Pulau-pulau yang ada di atas megathrust terangkat sebesar 1-3 meter sehingga mampu mengangkat koral-koral yang sebelumnya ada di dalam laut. (bersambung / to be continued)

Referensi:

* California Institute of Technology – http://www.caltech.edu/